Pak Din & Bang Lendo |
“Di
tengah silih berganti istilah
terasa berat ganjalan dibenakku
untuk siapa kau dinikmati...”
terasa berat ganjalan dibenakku
untuk siapa kau dinikmati...”
-Puisi “ Panen Raya Generasi Emas”, Budi
Wicaksono, FIP UNNES-
***
Sabtu,
6 Oktober 2012
Budi Wicaksono |
Penggalan Puisi yang dibacakan oleh Budi
Wicaksono itu menjadi awalan Seminar
Nasional "Menyongsong Kebangkitan Pendidikan Generasi Emas Indonesia
2045"di FIP UNNES. Kandungan puisi yang bercerita tentang
ketimpangan hak menikmati pendidikan itu terasa menusuk hati. Ditambah cara
membaca yang pas diiringi lembut musik Kitaro, membuat dua pembicara, yang
notabene adalah pegiat pendidikan untuk semua, terdiam menikmati. Seolah flashback
mengingat suka duka mereka merintis pendidikan yang penuh liku-liku. Atau merenungi
jutaan anak-anak Indonesia yang masih belum beruntung, belum dapat mengecap
pendidikan yang layak di tengah gegap gembita pendidikan Indonesia.
Bang
Lendo, salah satu pembicara, bahkan tak kuasa menahan satu dua tetes air yang
jatuh perlahan. Pelupuk matanya memerah. Pak Din juga diam terpaku. Puisi itu,
menurutku, berhasil menjadi bara. Menegaskan maksud panitia mengapa mereka
mengundang beliau berdua berbicara. Dan... pembicaraan itu pun dimulai.
PD III FIP UNNES |
Setelah disambut oleh PD III FIP UNNES, Bp.
Sutaryono, dan Presiden BEM FIP UNNES,
sebagai moderator saya mengenalkan Bang Lendo dan Pak Din. Kata Nhana, panitia
seminar, 200an audiens kebanyakan mahasiswa baru sehingga belum mengenal siapa itu
Lendo Novo dan Ahmad Bahruddin. Karena itu, lebih dari sekedar membaca CV, saya
menceritakan sosok Bang lendo dan Pak Din lebih dalam. Introduksi yang agak
dalam ini menjadi penting untuk menjembatani antara trust audiens dengan paparan pembicara yang sangat paradigmatik : konsepsi,
cara pandang , dan filosofis pendidikan. Terlebih keduanya lahir dari rahim
dunia pendidikan alternatif. Bang lendo dengan Sekolah Alamnya dan Pak Din
dengan Kelompok belajar Qaryah Thayyibahnya.
Keduanya, membicarakan sesuatu ‘yang tidak biasa’ bahkan cenderung
‘gila’ dari yang biasa mereka dengar di bangku perkuliahan.
Lendo
Novo. Panggilan akrabnya Bang Lendo. Penggagas sekolah
dengan konsep Sekolah Alam. Alumni Perminyakan ITB kelahiran
Jakarta, 6 November 1964, ini menemukan titik balik hidup
saat berada di balik jeruji penjara karena pengkritisannya terhadap Orde Baru. Lepas
dari penjara, Bang Lendo mendirikan taman kanak-kanak (TK) Salman.TK ini berbasis
alam dan tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. TK model inilah yang kelak menjadi cikal bakal konsep Sekolah Islam
Terpadu (SIT). Tahun 1998, Bang lendo
mendirikan Sekolah Alam Ciganjur. Tahun 2000 mengawal Sekolah Alam Semarang.
Kemudian mendirikan School of Universe di parung, Bogor. Yang dikembangkannya
hingga ke jenjang sekolah menengah dan perguruan tinggi dengan berbasis
entrepreunership. Saat ini, sudah ratusan sekolah yang mengadopsi konsep
sekolah alam. Tahun 2011 lalu sekolah-sekolah ini telah menggelar Jambore
Sekolah Alam Nusantara di Lembang, Bandung. Atas kiprahnya mengkampanye dan
membentuk karakter penyelamatan lingkungan melalui pendidikan, Bang Lendo
meraih banyak penghargaan. Diantaranya dari Rekor MURI dan Ashoka Award, sebuah
lembaga humanitarian USA.
Ahmad
Bahruddin. Biasa dipanggil Pak Din oleh para pegiat
komunitas belajar Qaryah Thayyibah (KBQT). KBQT terletak di sebuah desa nan
sejuk, desa Kalibening kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Pak Din memulai KBQT
pada tahun 2003. Nama Qaryah Thayyibah sendiri diambil dari nama paguyuban
petani Qaryah Thayyibah, dimana Pak Din menjadi salah satu pengurusnya. Pada
mulanya, KBQT melakukan aktivitas belajar di garasi, dengan siswa belajar
angkatan pertama adalah anak-anak petani dari paguyuban petani. Biaya sekolah
yang mahal, dan jarak tempuh yang jauh pada mulanya menjadi alasan lahirnya sekolah
alternatif ini. Lalu berkembang lebih esensi dengan argumen yang lebih kuat
yaitu kemerdekaan metode belajar. Peraih Syafii Ma’arij Award tahun 2012 ini
mengatakan bahwa sekarang sudah ada sekitar duapuluhan titik komunitas belajar
serupa Qaryah Thayyibah di Jawa Tengah.
Mencari
Ide
Saat sarapan pagi bersama pembicara jelang
tampil, Bang Lendo mengusulkan agar sessi diawali dengan mendengar dan mencari tahu
ide/gagasan/kritik/unueg-uneg dari peserta tentang pendidikan. Kedua pembicara
nampaknya punya tipe yang serupa, yaitu tidak mau terlalu menggurui, bahkan
keduanya ‘cuma’ menyiapkanmateri berupa
video dokumenter dan merencanakan tidak terlalu banyak bicara. Mereka
justru ingin tahu apa yang ada di benak generasi muda khususnya calon guru
tentang pendidikan Indonesia saat ini.
Maka, ide itu pun dijalankan. Ternyata, saat penggalian
ide, tidak banyak peserta yang mengacungkan jari.
Sebagai trigger, kusampaikan
bahwa buku Tetsuko Kuroyanagi “Toto Chan : Gadis Cilik di Jendela” adalah salah
satu buku yang menginspirasi guru-guru Sekolah Alam dan pendidikan
alternatif. Rupanya, tidak ada satupun
peserta yang pernah membaca buku itu saat kutanyakan siapa yang pernah membaca
buku tersebut. Termasuk juga tulisan bertema pendidikan membebaskan karya Paolo
Freire yang menjadi salah satu insiprasi pendidikan alternatif Qaryah
Thayyibah. Barulah ketika, pertanyaan diubah menjadi “Seperti apa sekolah dan
guru ideal itu? Dan mengapa Anda ingin menjadi guru ?”, seorang mahasiswi maju
dan dengan lancar memaparkan gagasan-gagasannya. Ide juga diberikan oleh
Presiden BEM FIP UNNES yang memberi pandangan
tentang kondisi pendidikan nasional. Kedua pembicara , dengan tekun mendengarkan
semua paparan dan sesekali menulis
di buku catatan.
Sessi
Bang Lendo
Audience seminar |
Bang Lendo giliran pertama menyampaikan
materi. Beliau mengawali dengan memutar film “Sobat Bumi : Satu Bumi Satu
Dunia” . Film ini, keren banget. Animasi.
Gambar coretan tangan yang dipercepat (stop motion) dan menggunakan narasi
berbahasa Inggris dengan soundtrack yang dimainkan tim Rombenk perkusi dari
School of Universe. Bercerita tentang kekayaan nusantara dan kearifan lokal
dalam menjaga sumber daya alam yanga ada. Bang Lendo, menegaskan, Indonesia
adalah negara kaya SDA dan kaya nilai-nilai. Tidak perlu silau dan selalu
terpesona dengan apa yang ditawarkan oleh orang luar khususnya barat,
seolah-olah kebenaran hanya berasal dari sana.
Bang Lendo juga menganalisis kegagalan
pendidikan Indoensia melahirkan generasi terbaik. Salah satunya karena
keseragaman yang dipaksakan. Keseragaman yang dimaksud bang Lendo adalah metode
yang sama dan usang diterapkan kepada siswa yang beragam, terutama kecerdasan
yang given, yang menuntut keragaman
metode. Sehingga hanya menganakemaskan siswa yang memiliki daya memorize yang baik. Dan pendidikan karakter atau akhlaq yang
kehilangan gigi, karena tidak menggunakan metode terbaik, yaitu keteladanan. Bang Lendo pun menyebut beberapa contoh
hilangnya keteladanan guru dan sekolah dihadapan murid-muridnya, sehingga
melahirkan generasi yang korup.
Sessi
Pak Din
Pak Din juga mengawali sessi dengan memutar
video liputan
terbaru yang dibuat oleh TVRI tentang Qaryah Thayyibah. Sebuah dokumenter singkat namun mewakili
segalanya. Pemberdayaan pedesaan, kekuatan komunitas, geliat pemuda, dan…
semangat! Ya, semangat untuk berubah menjadi lebih baik, di tanah kelahirannya
sendiri. Dalam liputan itu, terlihat
anak-anak KBQT terjun ke sawah membuat pematang baru. Betul-betul ide brilian. Anak muda dan sawah?
Pemandangan yang jarang bisa ditemukan. Scene berikutnya, menampilkan sosok muda salah
satu warga belajar, ia penulis, energik, dan berprestasi. Di hadapannya
bertumpuk buku yang telah ditulisnya. “Itu DTK!” kata Pak Din saat kamera
selintas memperlihatkan covernya. Yup,
DTK alias Dialog Tanpa Kata, buku yang ditulis hasil kolaborasi ku dengan
penulis itu. Hehe, dia tentu saja… Fina Af’idatussofa. Well, fina kelihatan begitu berbeda jika dibanding
saat aku bertemu terakhir kalinya sekitar 3-4 tahun lalu saat ia masih SMA. ^_^
Pak Din kemudian
memaparkan secara singkat hal-ahal yang mendasari lahirnya KBQT. “Kita boleh
saja putus sekolah, tapi tidak untuk putus belajar”, begitu salah satu kalimat
beliau dihadapan para mahasiswa. Sekolah dalam perspektif Pak Din lebih luas
dari keberadaan sekolah pada umumnya. Di
KBQT, para guru yang disebut pendamping , juga turut belajar, berdiskusi,
mencari solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar KBQT. Kurikulum
KBQT adalah KBK alias Kurikulum Berbasis Kebutuhan yang bersifat local living community base. “Orientasi
keberhasilan belajar di KBQT adalah pada produktivitas berkarya, bukan nilai dalam
angka-angka yang meredusir banyak pengalaman belajar” ujarnya lebih jauh.
Sessi Diskusi
Sessi diskusi yang
ramai. Jari-jari banyak teracungkan. Penaku
mencatat beberapa pertanyaan yang terlontarkan. Diantaranya : (1) Apa
kekurangan/kelemahan pendidikan ala SA
dan KBQT ? dan (2) Bagaimana cara mengubah paradigma masyarakat seputar pendidikan? (Ahmad Rifa’i). (3)Bagaimana
kurikulum di SA dan KBQT ?(Maya). (4) Apa kendala/hambatan membangun SA dan
KBQT ? dan (5) Bagaimana tips menjadi guru yang disayangi murid-murid? (Ummu). Lalu, (6) Apa karakter asli pendidikan SA dan
KBQT? (Nurjati). (7) Bagaimana dengan keseimbangan gaya belajar KBQT? Dan (8) apakah
pembelajaran di SA bisa diterapkan di anak berkebutuhan khusus? (Siska). Ada
juga pertanyaan (9) Bagaimana kualitas guru SA dan KBQT? (10) Bagaimana dengan potensi ‘liar’
murid-murid SA. Terakhir, (11) Bagaimana dengan akreditasi SA dan KBQT?
Pertanyaan-pertanyaan
itu dijawab tuntas oleh Bang Lendo dan Pak Din. Secara singkat, jawaban
beliau-beliau yang sempat saya catat adalah, bahwa guru yang baik adalah guru
yang mampu memfasilitasi kesukaan/minat-bakat/passion muridnya. Selama kita mampu berkomunikasi dengan bahasa
ibu atau bahasa kasih sayang, maka akan melahirkan murid-murid terbaik. Untuk
SA, misi pendidikannya sama dengan misi penciptaan manusia, yaitu menjadi
khalifah (pemimpin) yang memakmurkan bumi. Karena itu 80% isinya adalah
pembentukan akhlak, sisanya ada di pembangunan logika, leadership, dan
bisnis/kewirausahaan. Yang terakhir ini, metode terbaiknya adalah learning from
the maestro. Alias belajar dari ahlinya langsung.
Sementara, pendidikan
terbaik ditentukan oleh 3 hal; kualitas guru yang oke, metode & cara yang
tepat, dan ketersediaan buku atau literature sebagai referensi. Lulusan terbaik adalah mereka yang memiliki
akhlak terbaik. Pak Din menambhakan, bahwa guru adalah orang yang mau belajar.
Untuk bisa menjadi pendamping belajar, ia harus punya semangat belajar. Untuk meraih lulusan terbaik, anak harus
dibiasakan untuk memiliki ide/gagasan dan produktif. Dia juga bermanfaat bagi sesama.
Sessi ditutup oleh
closing words dari kedua pembicara tentang pendidikan masa depan dan pemberian
doorprize kepada dua orang yang masing-masing dipilih oleh Bang lendo dan Pak
Din. Menurut Bang Lendo, Negara yang member insentif kepada pembangunan hijau
maka pertumbuhannya akan menjadi luar biasa, seraya memuji UNNES yang telah mengedepankan
konservasi sebagai tagline kampusnya.
Sumber Inspirasi
Menjadi moderator
beliau berdua adalah moment special dan kenangan indah yang akan selalu terkenang. Terutama ketika saya
rebutan buku dengan Pak Din atas buku yang dibawa Bang Lendo. Buku putih
tentang Sekolah Alam yang baru saja terbit karya Bu Septri, guru pertama
Sekolah Alam. Saya sudah membookingnya sejak awal, tapi apa daya Pak Din punya
otoriti lebih kuat. Jadilah buku itu jatuh ketangan Pak Din yang juga penggila
buku pendidikan. Nasib dah… ^_^ Tapi, saya ikhlas kok, hehe…
Mereka berdua adalah
inspirasi besar saya dalam hal pendidikan alternative dan membebaskan. Keduanya
low profil, punya track perjalanan yang panjang di dunia pendidikan. Renungan
mereka tak berhenti sebatas wacana tetapi menjelma menjadi nyata. Semoga Allah selalu memudahkan langkah beliau
berdua, mempersembahkan pendidikan terbaik untuk semua.
Note : thanks to panitia, BEM FIP UNNES, dan
al-akh Saeful Agus + Nhana, untuk
mempertemukan saya dan beliau berdua dalam satu meja. (Seluruh foto taken by :
RasihM. Hilmy-KBQT)
0 komentar:
Posting Komentar