Selasa, 02 Agustus 2011

Taufik Ismail : "Mengubah Kurikulum Sama Dengan Memindahkan Piramida"

Ahad pagi (7/6). Jikalau tidak karena kehadiran H. Taufik Ismail, mungkin aku tak bakalan berangkat ke kampus FBS (FAkultas Bahasa dan Seni) UNNES Sekaran-Gunungpati. Pagi ini, beliau bersama Bp. S. Suharianto, dosen sastra senior UNNES, akan berbicara tentang "Pengajaran Sastra yang Komunikatif dan Kreatif". Di luar temanya yang 'menggiurkan', relevan dengan kecintaanku mendampingi anak-anak muenulis, ini adalah kesempatan yang jarang-jarang, bisa bertemu muka dengan sang 'guru spiritual' secara langsung.

Aku menaruh respek kepada beliau. Sebagai penyair angkatan 66, yang hingga kini masih produktif dan kritis, beliau adalah sosok inspiratif dan telah kuanggap sebagai 'guru spiritual'. Bahkan caraku menulis, terutama puisi, juga 'inspired by' oleh beliau.

Alhamdulillahnya, sisa insentif kemarin masih ada. Sehingga, meski tiketnya dibandrol 70 ribu, aku masih bisa ikut reservasi tiketnya. Tidak atas nama sekolah. Berangkat sendiri saja, sebagai pribadi. Bu Binta, rekan sekolegaku juga ikut, tapi juga atas nama pribadi. Semangatnya untuk menulis, membuatnya ikut di acara ini, meski sama sepertiku bukan berbackground sastra murni.

Dan mungkin, karena berangkat dengan pemikiran positif, sejak berangkat hingga pulang, banyak hal positif yang kudapatkan. Berangkat rada telat, di jalan malah ketemu sedan Mercy hitam. Di dalamnya, pak Taufik. Sehingga, di pelataran parkir aku jadi punya kesempatan menjabat tangannya, dan mengucapkan "Selamat Datang, pak!". Dan di jawab beliau, "Terima Kasih!".


***

Acara di buka oleh Dekan FBS dan pembacaan puisi oleh seorang mahasiswi yang salah satu puisinya mendapat nominasi Angerah Pena Kencana 2009. Keduanya aku lupa namanya. MC menyebut namanya dengan tidak jelas, jadi aku tak bisa mencatatnya dalam notes. Tak bisa pula aku bertanya, karena kanan kiriku di bangku barisan kedua paling depan ini kosong. Bertanya pada orang di depanku malah tidak mungkin lagi, karena di ditu duduk Taufik ISmail.

Seseorang dengan tampilan kasual kemudian maju kedepan. Ia, Sosiawan Leak. IA membacakan puisi dengan rancak bana. Sebuah berjudul "Phobia" yang menurutnya pernah dibacakan dalam sebuah forum sastra di Bremen, dan salah satunya puisi 'panas' yang berjudul "Prostitusi Babi".

Pak Suharianto kemudian memaparkan lebih dulu pemikirannya. Dengan makalah yang berjudul " Pengajaran Sastra... Oh, Pengajaran Sastra, beliau menegaskan bahwa Apresiasi Sastra di bangku-bangku sekolah masih memprihatinkan. Untuk masa depan yang lebih baik, beliau mengusulkan beberapa hal. Aku mencatat point no. 5 bahwa untuk dapat mengajarkan sastra yang betul dan menarik diperlukan guru sastra yang baik.

Ciri guru sastra yang baik menurut beliau yaitu yang (a) menyenangi sastra, (b) memiliki pengetahuan sastra yang memadai, (c) memiliki kemampuan mengapresiasi sastra yang lumayan, (d) memahami benar tujuan pengajaran sastra, (e) menguasai metode pengajaran sastra, dan syukur disempurnakan dengan (f) dapat menulis karya sastra. (pemaparan lengkapnya ada di makalah)

Taufik Ismail kemudian menyajikan data-data, hasil risetnya membandingkan kondisi Wajib Baca BUku Sastra di 15 Sekolah Menengah di 15 Negara. Angka yang membuat miris. Indonesia, menurut beliau ternyata memiliki Nol Buku Wajib Baca, bandingkan dengan sekolah di US yang 32, Prancis 30 atau Jepang yang 15 buku.

Pada kesempatan ini , beliau juga menunjukkan sebuah komparasi bagus. Dengan koper yang berisi buku-buku dan sengaja di bawa dari Jakarta, beliau membagi buku-buku itu menjadi dua tumpukan. Tumpukan pertama adalah 4 buah buku tebal-tebal. Salah satunya buku terjemahan karya Tolstoy "War and Peace" setebal 700an halaman yang menurut beliau wajib dibaca oleh setiap siswa SMA di Rusia. Tumpukan kedua, adalah banyak buku tapi lebih tipis-tipis dari tumpukan yang kedua. Beliau menyebutkan satu-satu judul penulisnya, mulai dari "Tak Putus di rundung Malang" Sutan Takdir Alisyahbana, "Harimau-Harimau", "Tenggelamnya kapal Van Der Wick" Buya HAMKA, hingga buku karya NH. Dini juga antologi Sapardi Djoko Damono, WS Rendra, dan nama beken lain. Belasan buku karya sastra itu. NAmun, jik aditumpuk tingginya hanya sejengkal saja, kalah tinggi dengan 4 buah buku disebelahnya.

Beliau kemudian memberi penjelasan. 4 buku ini baru seperenam dari jumlah buku sastra yang harus dibaca oleh pelajar Rusia. Jika beliau bawa semua, tingginya bisa mencapai satu meter. Sementara di Indonesia, judul-judul buku yang beliau sebutkan itu, yang tidak lebih dari sejengkal itu, baru wacana atau mimpi untuk wajib dibaca. Kita sejatinya membaca Nol Buku. Itu yang hendak dikatakan oleh beliau. Sebuah penyemangatan dari titik nol! (pemaparan lengkapnya ada di makalah "DARI PASAR DJOHAR KE DJALAN KEDJAKSAAN")


Taufik Ismail juga menceritakan pengalamannya, berkunjung ke sebuah sekolah , JIS (The Jakarta International School). Di JIS, ada kebiasaan menarik. Selama 15 menit di awal dan akhir sekolah, mereka membaca bersama. Untuk kelas kecil, dalam formasi lingkaran dan lesehan, sang guru membacakan sebuah buku. Anak-anak tinggal mendengar dan menikmatinya. Ya, hanya menikmati, tanpa embel-embel tugas lainnya. Dalam kurun waktu satu tahun, mereka telah menyelesaikan 70 judul buku. Enam tahun di sana, mereka telah membaca 420 judul buku. Untuk menulis, mereka melakukannya minimal selama 2 jam setiap hari. Sistemnya 1 project menulis digarap oleh dua orang. Satu menulis, satu mencitrakan alias bikin ilustrasi coret-coret. Judul dan jalan cerita lahir dari diskusi diantara mereka berdua. Amazing! Sang guru menyebut dirinya penerbit dan ia memanggil para muridnya itu dengan sebutan "Para Novelist-novelistku".


Di akhir sessi, keduanya, kemudian membaca puisi. Suharianto membacakan sebuah puisi panjang tentang hdupnya. Taufik Ismail membacakan 3 buah puisi. "Lima Syair Warisan", "Indonesia Keranjang Sampah Nikotin" dan "Kupu-Kupu dalam Buku". Puisinya yang terakhir ini, ia lampirkan dalam makalah sebagai tanda mata. Cara beliau membaca puisi, hemmm..sulit dilukiskan kata-kata...Kapan-kapan kau harus mendengarkannya sendiri. Bikin 'ngkretek' di hati.

***

Setengah hari berada dalam ruangan itu, aku mendapatkan banyak hal, paling tidak :

1. Bagi Taufik Ismail, "Kegemaran saya membaca, tidak saya peroleh dari sekolah, tapi dari contoh yang ditunjukkan oleh orang tua saya. Ayah saya Abdul ghofar Ismail adalah seorang jurnalis, dan ibu saya juga suka menulis pantun. Keduanya suka membaca"

2. Sebuah karya sastra yang baik, telah mampu berkomunikasi, sebelum ia tuntas dibaca dan dipahami. Keindahan sastra terletak pada dua hal, yaitu keindahan estetisnya sebagai sastra, dan keindahan nilai-nilai dalam sastra itu. Tidak pernah ada seorang sastrawan menulis sesuatu tanpa ada tujuan.

3. Mengutip "Mendung"nya Alex Leo, Suharianto berpesan, : "Menyadarkan perempuan yang sedang marah, sama seperti mencungkil duri dengan palu. Alias sia-sia. Tunggulah reda, barulah bicara."

4. Kata Taufik Ismail, "Kami sudah lelah memprotes kepada pemerintah. Intinya, Diknas perlu dibantu. itu sebabnya, spiritnya adalah apa yang kami bisa bantu. Bersama majalah sastra Horison, kami telah melatih tidak kurang 2000 guru. Tapi itu belum apa-apa jika dibanding guru setara SMA/MA yang 200.000." Berharap ada perubahan kurikulum agar lebih mengapresiasi sastra itu setara dengan memindahkan piramida. Sangat sulit. Mungkin tiga atau empat generasi ke depan baru bisa."

5. Sebagian besar guru mengeluhkan UN sebagai penghalang terbesar apresiasi Sastra di sekolah berikut pengembangan metode belajar yang menyenangkan. Ukuran sukses tidaknya guru hanya dan hanya dilihat dari lulus tidaknya siswa dalam UN. NAmun, buatku pribadi, itu semua hanyalah bentuk sebuah pengalihan. Jikalau memang suka dan cinta, mestinya sastra tetap 'jalan' baik ada UN maupun takada UN. Bukankah, hasil tak selalu langsung bisa dilihat. Orientasi kita, kata Pak Taufik adalah seperti yang dikatakan Al-Quran, pada proses. Bekerja sajalah. Bersastra saja. Hasil ada di tangan Allah.

6. "Tolong, saya datang dari jauh", kata Taufik Ismail. Kalimat yang harus diucapkannya untuk meminta atensi audience yang asyik ngobrol sendiri. Sebuah pukulan telak, karena yang hadir sejatinya adalah guru dan mahasiswa calon guru. Nafsu mengumpulkan portofolio sebanyk-banyaknya telah menggeser ketulusan menuntut ilmu.

7. Library is a must! Untuk bisa menulis mesti suka membaca. Thx tuk Taufik Ismail, yang telah menuliskan pesannya di bukuku. "Baca, baca, baca... Tulis, Tulis, Tulis...tertanda Taufik Ismail" Kupegang nasehatmu, pak! Takkan kulupa sepanjang hayat.

8. Mengapa kita begitu mudah mencemooh, tapi malas memberi solusi. Sound di ruangan teater Usmar Ismail itu memang buruk, bunyi dengungnya mengganggu kekhusu'an. Tapi haruskah sampai kita mengeluarkan teriakan huuuuu..secara masal? sangatlah tidak santun. Seperti penonton layar tancap saja!

9. Satu lagi, budaya antri dan sabar calon pendidik kita nyaris nol. Sertifikat yang telah disusun dengan baik oleh panitia berdasar alphabetic, diacak-acak oleh mahasiswa-mahasiswi yang tak sabar dan memilih berebut bergerombol. Semua ingin lebih dulu. Malu-maluin!

Ala kulli hal, thx buat panitia. Walau bagaimanapun kerja kerasnya patut di acungi jempol! Semoga barokah!

>> Download Makalah Taufik Ismail & Prof. Suharyanto <<

(First Posting :  9 Juni 2009)

0 komentar:

Posting Komentar