Kepada muridku yang kusayangi selalu….
Hari ini, aku ingin bercerita padamu. Tentang hidupku dan tentang duniaku. Jikalau kemudian aku memilih dirimu sebagai teman curah hatiku, itu karena lidahku telah begitu kelu mengeluh kepada sesama orang dewasa.
Kami telah bercerita. Bahkan hingga harus dengan berteriak.
Bahkan hingga menulisi spanduk dengan darah kami. Bahkan dengan bercerita itu sebagian dari kami harus rela ditangkap dan diseret ke markas yang mereka sebut sebagai penegak hukum, seakan kami ini sedang meruntuhkan hukum. Bahkan kami telah pula bercerita hingga depan istana republik ini. Ya, mungkin saja para penghuni istana itu perlu mendengar dari jarak dekat yang dikarenakan telinganya tidak cukup memiliki pendengaran yang kuat. Tapi semuanya, seperti halnya debu, tak dianggap ada, hilang terhembus angin…
Kepadamu kini, muridku, gurumu ini bercerita…
Tentang tinggi air yang kini sudah sampai leher. Tentang kencang ikat pinggang menyesakkan tubuh yang tak lagi berpinggang. Tentang dapur yang makin lama makin jarang mengasap.
Duhai muridku,
Jika tersebut kata guru, maka dengan berat hati sekarang aku katakan padamu, bahwa paling tidak ada tiga jenis guru. Engkau harus cermat mengenalinya. Guru Negeri, Guru Swasta Kaya dan Guru Swasta Miskin. Mungkin kami sama-sama guru, tapi dengan beban tanggung jawab yang sama, nasib kami bisa jauh berbeda. Dan gurumu ini, yang sedang becerita padamu, adalah guru yang disebut terakhir dari tiga jenis guru itu.
Jika kau bertanya apalah bedanya. Maka ketahuilah perbedaannya bagai bumi dengan langit. Bagi gurumu ini, penghasilannya paling banter separoh bahkan seperempat dari dua kategori guru lainnya. Nasib serupa juga dialami oleh rekanku yang lain, bahkan lebih buruk : para GTT, Guru Bantu, Guru Kontrak, Honorer atau apalah namanya. Dan dengan naiknya harga BBM kemarin, yang memicu kenaikan harga sembako, maka janganlah kaget jika di antara gurumu ini kemudian ada yang masuk dalam daftar penerima kupon BLT, kupon raskin, dan sejenisnya.
Tapi, gurumu ini tetaplah bangga. Dengan baju yang semakin lusuh dan celana yang makin cingkrang (karena terus digunakan tanpa mampu mengganti yang baru), tangan kami tetap mengepal. Kami harus tetap berada di tengah-tengah kalian. Karena, dengan guru-guru seperti kamilah, kami bisa mencetak anak-anak muda bersuara kritis. Bagi guru, menyitir Eko Prasetyo (2007), mendidik itu melawan.
Lihatlah di jalan. Kakak-kakakmu mahasiswa yang masih saja setia menyuarakan jerit hati rakyat, menolak kenaikan harga-harga. Meski isu di media telah berganti tema. Dan rakyat pun mungkin telah terlupa. Tapi, mereka telah membuat guru-guru yang pernah mendidiknya bangga atas apa yang mereka lakukan saat ini. Menjadi garda depan suara hati rakyat. Dan gurumu ini, adalah bagian dari rakyat (miskin) itu. Dulu anak-anak muda itu kami lindungi, tapi kini, ganti mereka yang melindungi. Mereka telah menjalankan tugasnya, dengan amat baik. Maka jika kau kelak menjadi siswa yang maha, jagalah spirit kritis itu agar tetap ada. Itu juga akan menolong spirit gurumu ini.
Adapun mereka yang sedang berkuasa sekarang, yang mengeluarkan kebijakan tak bernurani, mungkin dulunya mereka bersekolah di sekolah kaya raya, dengan guru-guru makmur tak kurang suatu apa. Sehingga dipikirnya Indonesia ini masih seperti di negeri dongeng, jamrud khatulistiwa, gemah ripah loh jinawi. Padahal nyatanya, tigaperempat penduduknya bergelut dalam kemiskinan, hutan ludes digunduli, alamnya pun tak subur lagi. Tak lagi menjadi lumbung padi, tapi lumbung korupsi. Negeri petani, tapi penduduknya makan nasi dari beras yang ditanam di negeri tetangga.
Duhai muridku,
Engkau benar jika mengatakan bahwa kami tak boleh larut dalam keluh. Tapi, ketidakadilan ini begitu nyata, begitu menusuk hati. Dengan berat hati kami katakan bahwa fasilitas, kemudahan, dan kesejahteraan selalu dan selalu saja diprioritaskan pada rekan-rekan kami yang berlabel Negeri. Lihatlah angka-angka APBN atau APBD yang katanya hendak diselamatkan dengan mencabut subsidi BBM, separoh lebih habis cuma buat belanja rutin pegawai. Artinya, yang hendak diselamatkan bukan rakyat kebanyakan tapi para pegawai berlabel Negeri yang jumlahnya cuma sebilangan jari.
Kuota sertifikasi guru prioritasnya juga tidak pada kami. Jika kami demonstrasi menuntut kenaikan upah minimal setara UMR atau BSHL (Biaya Standar Hidup Layak) rekan-rekan kami yang Negeri malah demo menuntut pembayaran rapelan tunjangan dan kenaikan gaji. Padahal sudah menjadi rahasia umum, SK mereka sedang ‘disekolahkan’, rumah mereka pun sudah bergarasi. Tidakkah mereka mengenal kata “cukup” dan memberi kesempatan pada rekan sekoleganya yaitu kami, untuk gantian ‘bernafas’ barang sejenak.
Akhirnya, cobalah lihat, dunia malah mencibir kami. “Profesinya guru, tapi kerjanya meminta-meminta…memalukan sekali.” Padahal, engkau kan tahu, untuk minta sumbangan dari komite/orang tua pun kami mesti berpikir dua kali. Kondisi orang tuamu tidak lebih baik dari kami. Kami menolak disebut pengemis. Apa yang kami perjuangkan adalah sesuatu yang diamanatkan oleh Undang-Undang dan terganjal oleh sesuatu yang bernama birokrasi. Pemerintah yang tak cukup punya kepekaan itulah yang seharusnya bertanggungjawab hingga membuat rakyatnya terpaksa seolah menengadahkan tangan.
Akhirnya, cobalah juga renungi… Beribu-ribu kepala orang tua murid teracuni. Mereka menyekolahkan anaknya, dengan harapan agar anaknya menjadi pegawai berlabel Negeri. Sisa-sisa mental inlander warisan penjajah masih mengakar kuat. Jika ingin sejahtera jadilah pegawai, sebagaimana strategi pemerintah kolonial menciptakan kesenjangan sosial. Tidakkah mereka berpikir bahwa semua kesejahteraan itu diperoleh dari upeti berwujud pajak dari rakyat yang bekerja keras memeras keringat. Maka, kata kuncinya muridku: Jadilah seorang rakyat yang bisa menyejahterahkan bangsanya.
Dan aku, aku tidak akan mengejar label Negeri dari profesiku. Aku cuma ingin sedikit sejahtera tetap dengan label swastaku. Sebab, dengan sedikit sejahtera itu, aku tetap bisa nalangi membelikan buku-buku, spidol, kapur tulis, atau fotokopi, seperti biasanya, tanpa dapur rumahku harus terganggu. Dan terutama, dengan tetap berada di jalur swasta, aku tetap bisa bersuara kritis, pada bangsaku, hingga akhir hayatku…
Dan jika engkau bertanya, mengapa pula aku ceritakan semua ini padamu. Maka ketahuilah muridku, inilah slilit yang mengganggu benak gurumu. Bersama kita memahaminya, bersama pula kita menghadapinya.
Ya, cukup pahamilah saja. Dan jika muncul empati karenanya, alhamdulillah. Kami tak berharap apapun. Jika ingin membantu, bantulah kami dengan perubahan dalam perilakumu. Tunjukkan respekmu pada guru. Tampakkan kehausanmu akan ilmu. Kuatkan tekadmu untuk turut ambil bagian dalam mengukir masa depan negerimu, mulai saat ini. Sebab, hanya itulah yang membuat korps guru kelak masih diamini sebagai korps pahlawan tanpa tanda jasa! (*)
(First Posting : Radar Semarang, 9 Oktober 2008)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar