Selasa, 02 Agustus 2011

Sekolah, Teater, dan Kritik Pendidikan


Ini adalah kali pertama, bertemu dan melihat tampilan murid-muridku yang di Q-Tha. di TBRS lagi. Mereka tampil membawakan lakon "Bobrok", dan seperti biasa, berisikan kritikan terhadap kondisi pendidikan di Indonesia.

Bersama Pak Zaini, aku meluncur bada Isya. Untungnya bawa kamera dua, sehingga saling backup hasilnya. Tau sendirilah, foto di ruang minim cahaya alias low light kaya gitu, kamera digital saku kan langsung klepek-klepek, ISO-nya nggak cukup, maks cuma 400 doang. Sementara kameranya Tia bisa sampe 1600an.


Oke,.. seneng bisa melihat lagi keceriaan si Upik dari jarak dekat..hihi...rasa dirasa udah hampir mirip kaya Jeng Kellin deh dia...juga ada Maya, Kana, Oela, Puji, Salma, Arin, trus Ikhwan, Ipoel, dan Goshonk.. (aduh, siapa lagi ya??...udah mulai tua nih..).


Btw, Sabtu (25/4), Suara Merdeka melalui tulisan mas Achiar Permana memuat aktivitas anak-anak itu di ddalam kolom hiburan dan seni. Berikut copynya dari http://suaramerdeka.com :
Kampanye "Antisekolah"

Oleh Achiar M Permana

PERTUNJUKAN dibuka dengan kor yang benar-benar to the point. Lima pemain muncul dari sisi kanan panggung dengan mengentak-entakkan kaki. Serempak mereka mengucapkan, atau tepatnya meneriakkan, satu kata berulang-ulang. ’’Bobrok, bobrok, bobrok. Bobrok, bobrok, bobrok....’’

Begitulah pementasan Teater Gedhek dari Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah, Kalibening, Salatiga, di Gedung Ki Narto Sabdho, kompleks Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Senin (20/4) malam. Mereka mengusung lakon karya Maia Rosyida yang sekaligus sebagai sutradara.

Yang menarik, lakon itu mereka mainkan berbarengan dengan ujian nasional (UN). Pagi sebelumnya, para siswa SMA/SMK mengikuti ujian hari pertama. Mereka memainkan lakon itu sebagai pementasan penutup ”Gaul Teater Cah Sekolah” yang digelar Teater Rumah Kedua (Ruke) SMA Islam Sultan Agung Semarang.

Selain Teater Gedhek, pada kegiatan dua hari itu tampil Teater Api SMK Palebon, Teater Merah Putih SMA Nasima, dan Teater Thessa SMA Theresiana.

Sesudah kor ’’bobrok, bobrok, bobrok...’’ mereda, mulailah pemain berdialog. Mereka menelanjangi kebobrokan yang membelit dunia pendidikan, dari biaya sekolah yang tak terjangkau, guru yang membisniskan pendidikan, hingga pelajaran yang tak lebih tak kurang cuma hafalan.

Dari sisi artistik, minus kostum dan tata rias, pementasan Bobrok amat minimalis. Sama sekali tak ada setting yang bisa membantu penonton lebih memasuki atmosfer pementasan.

Tata lampu pun sangat bersahaja, untuk tak menyebut buruk. Cuma lampu sorot di kanan-kiri panggung, yang acap kali justru ”menyembunyikan” akting dari mata penonton.
Perdebatan
Lebih dari separo pertunjukan berisi perdebatan antara dua kubu: anak sekolah dan anak ’’tak sekolah’’. Dua pemain, Upik dan Puji, yang berbalut seragam anak sekolah menguarkan kebanggaan bisa bersekolah. Dua pemain lain, Ula dan Qonaah, terang-terangan mengkritik sistem pendidikan yang ancur-ancuran.

Pertunjukan itu bisa menjadi semacam ’’jendela’’ untuk mengintip Qaryah Thayyibah.

Komunitas belajar yang menganut paham ’’pembebasan’’, konsep yang menekankan goals setting pada basis potensi anak dengan membuka ruang kreativitas seluas-luasnya. Di komunitas itu, setiap anak memperoleh ruang kebebasan kreativitas serta wadah akses sangat optimal. (53)
Another Pict :
1. Upik dan Oela in action...
2. tampilan teaternya SMU Theresiana
3. Backstage


(First Posting : 29 April 2009)

0 komentar:

Posting Komentar