Selasa, 02 Agustus 2011

Sastra dan Kenabian

(1)
Jauh masa saat pena telah diturunkan. Menggores kata lewat kuas bambu bertemu tinta jepang di atas kertas coklat suram daun lontar ataulah jika tidak daun pandan. Setiap kata bak mutiara berkilauan berharga betul dihafal digadang-gadang. Tulisannya boleh luntur, kertas boleh berlubang, tapi kandungannya telah terlanjur terpatri sepanjang zaman. Acapkali tak bisa dirangkai ulang, tapi geloranya nan tak kunjung padam. Itulah dia nasehat. Nasehat dari para tetua nenek moyang era lampau untuk cucunya di kemudian kehidupan.


(2)
Sastra itu dari hulunya mengalir sungai yang bening. Orang bermandian dan menyucikan diri sambil berenang-renang. Luluhlah semua kotoran menjadikan diri mengkilat berkilauan. Liriknya meneduhkan, syairnya menenangkan, kisahnya tiada bandingan. Bangga itu segenap pembacanya sebagai manusia. Oleh kerana tinggi budi pekerti dan halus pula perangainya. Sastra kenabian membawa cahaya, sebagaimana sang nabi yang mengusir gelap menyalakan cahaya.

Cobalah tengok barang sebentar pasal lima gurindam dua belas Raja Ali Haji :

"Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai."

lalu, dimana pula sastra nasehat serupa ini zaman sekarang kau temukan??

(3)
Kalaulah kalian bisa mendengar bisik-bisik rak dan almari perpustakaan itu, maka tentulah kalian akan tersipu malu. Karena rupanya mereka lebih suka dirinya ditempati buku-buku yang lusuh dengan sampul sederhana itu. Ya, oleh sebab mesin cetak jaman dahulu bisanya mencetak sperti itu. Tapi rak-almari itu lebih bangga buku-buku itu bersandaran pada diri mereka. Karena meski sederhana, tapi lembaran-lembaran di dalamnya itu telah berperan mengubah seisi dunia.

Sementara, buku-buku warna-warni berkilapan sekarang, memikat mata namun menipu hati luar dalam. Malu hati usai membaca apalgi buat dibaca kedua kali. Tak hendak lagi menyentuhnya. Merdeka betul cara penulis mengisahkannya, tapi entah mengapa gelisah diri dibuatnya usai membaca. Kemerdekaan yang berujung kepada kegelisahan. Apalah itu namanya kalau bukan picisan. Tak sampai hati pula bila menyebutnya sampah. Karena bilamana ia sampah betulan, lalu kenapa ia laris di pasaran. MAkin terbelalaklah kita, karena rupanya itu berarti kita lebih suka mengunyah sampah daripada menyingkirkannya.

Maka, petuah itu telah berubah. BUkan lagi berbunyi banyaklah membaca. Tapi pilih-pilihlah apa yang kau baca. Makin banyak sampah yang kau baca, maka makin pula kau bertimbunan dengan sampah. Semua orang boleh menganggap karyanya karya sastra. Tapi sastra sesungguhnya tidak perlu anggapan. Bilamana dari halman awal hingga khatam kau selesaikan, dan kau mendapat pencerahan...itulah dia sastra kenabian.

(First Posting : 13 Oktober 2009)

0 komentar:

Posting Komentar