Selasa, 02 Agustus 2011

Otokritik : Bangga Berbahasa Indonesia?

Semua gundah mengumpul hari ini. Membentuk gunung berapi, dengan magma laten yang menggelegak. Tapi, aku tak hendak membaginya semua, sebahagian juga tidak, hanya satu saja.

Yaitu tentang keganjilan dari banyaknya 'tagline' "Bangga Berbahasa Indonesia". Bahkan ada iklannya pula. Satu halaman koran. Dalam rupa 'hape' tersodor ke muka. Seakan hendak berkata, "Nih, Baca! Gue bangga Berbahasa Indonesia".

***

Mungkin terasa mulia dan tak ada salahnya. Tapi, sebenarnya itu menunjukkan kesempitan cara kita berpikir dalam konteks kecintaan terhadap bahasa nasional. Slogan-slogan begini, makin menguatkan saja premis bahwa negeri ini adalah negeri slogan alias simbolistik.

Dalam konteks kekinian, teriakan "Aku Cinta tanah air" saban 17-an, atau "Bangga berbahasa Indonesia" saban 28 Oktober, menjadi kehilangan makna, terutama bila menilisik apa yang kita lakukan sehari-hari sama sekali tidak mencerminkan kecintaan kepada negeri atau bahasa nasional.

Itu setara, dengan konferensi pers yang digelar "markas buaya" yang menggaungkan bahwa tidak ada upaya mengkriminalisasi "Cicak", namun prakteknya para cicak harus masuk bui hari ini (29/10).

Atau setara dengan kalimat gombal "I love you" yang dijual obral. Padahal, sejarah mencatat cinta yang melegenda adalah cinta yang diungkapkan dengan indah tanpa kata.

Dalam efek buruk yang lebih buruk. Tagline "Bangga Berbahasa Indonesia" itu membawa dampak menurunnya semangat pemuda-pemuda Indonesia untuk mempelajari bahasa-bahasa dunia. Tak ada yang meragukan ke-Indonesiaan alm. Hatta atau Natsir. Mereka adalah contoh nyata, pemuda Indonesia yang memiliki banyak kemampuan berbahasa. Dan beliau-beliau itu memulainya dengan belajar bahasa, tanpa pernah mengatakan secara verbal "Aku Bangga Berbahasa Indonesia". Sebab, kebanggaan itu adalah sesuatu yang tertanam di hati dan terpancar melalui tindakan. Omongan 'toktil' tak memberikan sumbangsih apapun terhadap kemajuan bangsa dan bahasa Indonesia.

Maka, betapa sedihnya saya, ketika seorang murid saya (semoga hanya terjadi pada saya) mengatakan bahwa ia tak hendak belajar bahasa asing, karena ia hanya cinta Indonesia dan hanya ingin belajar bahasa Indonesia. Mungkin saja ia berdalih dan berlindung dibalik kata-kata magis "Bangga Berbahasa Indonesia" padahal sejatinya ia mengalami kesukaran menguasai bahasa asing. Tapi apapun itu, tanpa disertai pencerahan yang memuaskan, slogan "Bangga Berbahasa Indonesia" berpotensi menyesatkan.

Sekarang, sudah tidak lagi relevan mencintai bahasa Indonesia hanya dengan slogan-slogan semata. Kecintaan kepada bahasa nasional justru ditampakkan oleh orang-orang yang selama ini tidak banyak 'berkoar-koar" namun menunjukkan kerja nyata. Berapa banyak kitab-kitab dan buku berbahasa asing yang kini bisa dinikmati dalam bahasa Indonesia. Kita berhutang pada mereka, pada para penerjemah itu. Berkat kegigihan mereka mentransformasi pengetahuan ke dalam bahasa Indonesia, kita dapat dengan mudah menyesapi ilmu-ilmu yang terkandung didalamnya. Perhatikan, mereka bisa melakukan semua itu, karena dulunya mereka belajar bahasa asing tersebut. Dan saat mereka belajar bahasa asing, pasti tidak hanya sekali dua, mereka bertutur dan menulis tidak dalam bahasa Indonesia melainkan dalam bahasa asing.

Atau sebaliknya, tulis saja karya-karya besar dalam bahasa Indonesia. Ciptakan syair-syair yang mendunia. Menangkan nobel! Itu relatif lebih masuk akal, ketimbang menyodorkan hape ke muka (meski 'message'nya Indonesia tapi toh teknologi didalamnya milik Finlandia. Note : saya sama sekali tak hendak mendiskreditkan bintang iklan atau vendor hape).

Atau dengan memperbanyak ajang-ajang bertemunya karya sastra dan penghargaan dibidang bahasa/sastra di kalangan pemuda, yang belakangan ini main tergerus oleh budaya 'pop culture' dan hedonisme. Mereka yang bergerak di belakang layar inilah para pejuang bahasa sesungguhnya.

***

Dalam kukungan kolonial, para pemuda 1928 telah membuat sebuah terobosan, 'breaking the rule', dengan menyatakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional. Sebagai media pemersatu atas beribu bahasa yang ada di tanah air. Maka pemuda di masa kini, seharusnya telah memasuki tahap berikutnya: menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa global. Tidak lagi bicara dalam konteks nasional, melainkan universal.

Dan Universalitas membutuhkan manusia-manusia yang berkualitas global. Salah satu indikatornya adalah menghargai cara manusia berhubungan satu dengan yang lain, alias menghargai bahasa. Bukankah diciptakan manusia dalam beragam ras, beragam warna kulit, dan kebangsaan, untuk saling mengenal satu sama lain dan bersilahturahim diujung tujuannya.

Maka jIka disodorkan pertanyaan, "lalu apa solusi dari anda?". Maka, saya akan menjawab : Saya bangga berbahasa Indonesia. Bangga pula berbahasa daerah. Juga bangga berbahasa Asing. Bahkan saya bangga berbahasa tanpa bahasa, yaitu bahasa nonverbal alias bahasa tubuh alias bahasa gestur. Saya bangga berbahasa. Saya bangga berbudaya. Saya bangga menjadi hamba, menjadi bagian dari sebuah sistem universalitas nan sempurna (syaamil wa muttakamil). []

(First Posting : 29 Oktober 2011)

0 komentar:

Posting Komentar