Selasa, 02 Agustus 2011

Obat Hati Itu Bernama Sastra...

Suaranya bergetar. Matanya terpejam. Serak, laki-laki itu mendendangkannya. Dengan begitu getir. Sebuah lagu kenangan.

"Namun aku tak tahu...
apa yang dirasakan...

tapi satu pintaku...
kasih dan... sayang..."


Ajaib, seperti tersihir. Tenggorokan penonton kompak tercekat. Memerah pula matanya. Sesaat, terdiam... untuk kemudian tersadar dan memberikan applause untuknya.

Ending yang manis.

***

Laki-laki itu adalah Budi Maryono. Ia baru saja usai membaca cerpen terakhirnya, "Sekuntum Mawar". Di cerpen itu, sang mawar terpersonifikasi sedemikian rupa hingga ia bisa menjadi bicara, dan menjadi 'teman duduk' sesosok waria yang kesepian mencari cinta. Di taman itulah, sang waria 'digugat' oleh sang mawar agar ia berhenti bermimpi dan menghadapi kenyataan. Kenyataan yang mngkin teramat pahit, karena tak ada segumpal cinta-pun yang didapat. Akan tetapi sebenarnya sangat menenangkan jika kita ikhlas atas 'ke-takdapatan-an' itu. Ikhlas itu, menjadi energi suci menjalani kehidupan, ketimbang mimpi yang bisa juga menjadi energi namun rasanya penuh onak duri. Sakit dan perih.

Namun apa daya, sang waria telah memilih jalan hidupnya. Pergi meninggalkan sang mawar. Tetap memburu mimpi... cinta sejatinya. Sesuatu yang diidamkannya sepanjang hidupnya. Ia tak hendak untuk kehilangannya. Tak mau menyerah ia selama masih punya sisa-sisa tenaga. Sebab, mungkin juga eperti yang ditulis oleh pak Budi pada bagian lain bukunya bahwa "perburuan adalah nilai cinta paling kekal". Ia memilih untuk meneruskan perburuannya. Dan Sang Mawar cuma bisa melepasnya dengan senandung lagu Mawar Bunga karya Koes Ploes, yang dinyanyikan Pak Budi tadi.

Ahad pagi (27/7) itu, Pak Budi membaca tiga buah cerpen. Selain 'Sekuntum Mawar, beliau juga membaca "Seorang Peremuan dan Malam" dan "Di kereta, Kita Selingkuh". Judul terakhir ini, sekaligus menjadi judul buku antologi cerpennya.

Acara kemarin itu memang menjadikan Pak Budi sebagai cerpenis tunggal yang membacakan karyanya. Digeber oleh Komunitas Teater Semut Kendal, acara bertajuk "Pembacaan Cerpen-cerpen karya Budi Maryono" itu dihadiri tak kurang dari 100-an orang. Kebanyakan siswa dan guru di lingkungan kota Kendal. Dan terlihat pula beberapa mahasiswa, pecinta teater, seniman, dan penulis.

Teater Semut juga sempat menunjukkan taringnya disela acara. Tampilannya yang memukau makin menunjukkan eksistensinya sebagai kelompok pecinta seni dan sastra, khususnya di Kendal. Teater Semut yang dibina oleh Pak Aslam Kussatyo ini, mengadaptasi salah satu cerpen Budi Maryono berjudul "Laki-Laki Terakhir".

"Laki-laki Terakhir" bercerita tentang seorang perempuan, Dedes, yang muak kepada kaum laki-laki, dan hendak membunuh semua laki-laki seantero jagat. Semua karakter laki-laki, yang diwakili oleh Ametung, Kebo Ijo, Arok, bahkan Gandring, menghembuskan nafas terakhirnya di ujung keris Dedes. Beruntung, Gandring sebelm tewas, sempat 'menggugah' Dedes, bahwa masih ada lelaki terakhir di jagat ini. Laki-laki itu hanya bisa terlihat jika Dedes berada di hadapan sebuah cermin.

Ya, "Lelaki Terakhir" hendak berkata bahwa selalu ada kelaki-lakian di dalam tubuh perempuan, sebagaimana di dalam laki-laki selalu ada watak keperempuanan. Sayang, Dedes menjadi tidak konsisten, karena jikalau ia komit dengan tekadnya, mestinya ia membunuh laki-laki di dalam dirinya. Jadi, adalah kesia-siaan mengejar kemenangan atas laki-laki atau atas perempuan. Karena keduanya tercipta bukan untuk menang-menangan.

Dedes dimainkan dengan apik oleh Lince, yang diimbangi apik pula tokoh laki-laki yang diperankan oleh anak-anak Teater Semut. Namun, karena luasnya batasan adaptasi cerpen menjadi naskah teater, maka dalam beberapa hal, beberapa sajian tampak begitu sarkatis. Misalnya, saat Dedes puas tertawa terbahak-bahak sambil memegang penggalan kepala Kebo Ijo. Benar-benar ngeri, karena 'darah segar' yang keluar dari 'kepala' itu masih menetes-netes memerahkan lantai... Full Horror...! ^_^

***

Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi sastra. PAk Budi kali ini dimoderatori oleh sastrawan Kendal, Pak Sawali Tuhusetya, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari peserta. Banyak pertanyaan bagus dan kritis dari peserta, misalnya tenang bagaimana mematahkan problem klasik saat menulis cerpen yaitu : memulai, mengembangkan konflik, dan mengakhiri. Juga, apakah pesan tulisan harus ada lebih dulu di awal ketika hendak menulis. Termasuk pertanyaan, mengapa cerpenis dan penulis Indoensia sangat suka menulis sesuatu yang berbau seksualitas. Juga pertanyaan menggelitik, apakah Pak Budi pernah atau ingin selingkuh, dengan menulis cerpen tentang perselingkuhan. Sebab, cerpen atau tulisan yang baik biasanya bermula dari pengalaman batin penulis.

Jawaban demi jawaban keluar dari mulut Pak Budi. Kadang panjang kadang pendek. Kadang serius dan filosofis, kadang pula lucu dan sederhana. Ya, apapun itu, sessi ini adalah ajang yang bagus untuk siswa dan guru saling ber-brainstorming tentang sastra Indonesia, khususnya sastra kontemporer. Seperti kuliah gratis gitulah. Kuliah yang bermutu tapi...

Intinya, dengan meluncurkan buku berjudul berkonotasi negatif ini, Pak Budi sebenarnya malah ingin mengajak pembaca untuk ke arah positif, asal dengan syarat, membacanya dengan (pinjam istilah Pa Bdi) agak khusyuk. Sehingga bisa menangkap makna mulia tersembunyi dalam cerpen berisu perselingkuhan itu. PAk Budi sejatinya, malah ingin memuliakan perempuan. Sebab, menurutnya, ia terlahir karena perempuan, dan punya anak perempuan. Intinya, mencintai perempuan.

Dalam bahasa PAk Budi yang lain, meski sama-sama menyinggung seksualitas, karyanya ini dijamin tanpa lendir. Itu yang menjadi pembeda dengan buku-buku lain yang membahas persoalan yang sama.

***

Dari atas kursi di undakan atas, kulihat Okta masih setia dengan handycam ditangan. Ia tampak berkonsentrasi penuh pula mengabadikan setiap moment dan perkataan Pak Budi. Anak itu... mmm..nanti kutulis di posting tersendiri deh tentang Okta ini. Tapi, perjumpaan pertama dengan Okta, siswa kelas akhir SMK Grafika sudah menciptakan kesan bagus tentangnya. Anak ini berbakat menjadi seseorang yang ahli dibidangnya : sinematografi.

Di sisi lain, Mas Rukardi, fotografer dan Reporter Suara Merdeka, juga asik menjepret sana-sini dengan kamera DSLR Nikon-nya plus lensa tambahan 300 mm. Gubrak! Keren banget tuh piranti. Ditangan orang sekaliber MAs Rukardi, foto yang berhasil di jepret dijamin bikin geleng-geleng kepala. Very-very nice...! (pula ternasuk foto diatas, adalah courtesy dari Pak Budi, hasil jepretan Rukardi)

KAmi datang berempat dari Semarang. Mestinya lima, ditambah Didin, salah seorang anggota Geng Kantin Banget. Namun, karena buru-buru, mobil melaju hingga Kendal dan lupa berhenti di Ngaliyan, tempat si DIdin menunggu. Sori , bro... ^_^

Lalu, meluncurlah kita pulang, setelah sempat merasakan sejuknya bersujud di dalam masjid Agung Kendal.

Hmm... Hari yang istimewa. Lumayan menginspiratif buat jiwa. Serasa minum obat, bukan pil bukan pula puyer, tapi ia bernama sastra... Thx Pak Budi atas buku dan 'obat'nya. ^_^

note :
Tulisan lain tentang Diskusi Sastra bersama Budi Maryono, ada di sini.

(First Posting : 30 Juli 2008)

0 komentar:

Posting Komentar