Selasa, 02 Agustus 2011

Mencari Mata Air Terakhir

“Pak… di sini, pak!” teriak salah seorang murid dari tebing yang lebih atas. Bergegas, kami menuju ke sumber suara. Benar, itulah yang kami cari. Sebuah mata air.

Berbekal informasi dari Pak Sumari, salah seorang warga Dukuh Rejosari , kelurahan Meteseh (Semarang), kami menerobos hutan di bukit Sigar Bencah Tembalang. Menurut beliau sebagian warga dukuh Rejosari menggunakan air dari mata air di hutan bukit Sigar Bencah sebagai sumber air utama. Mereka tidak menggunakan sumur karena tingginya kandungan kapur dalam air sumur, dan tidak pula berlangganan PDAM karena, tentu saja, tidak kuat bayar.



Kebetulan, bukit Sigar Bencah itu lokasinya tidak pula terlalu jauh dari Sekolah Alam Ar-Ridho Semarang, tempat kami belajar, sehingga setelah usai doa pagi, kami (12 murid 3 guru) segera meluncur ke sana, dengan membawa peralatan dokumentasi khususnya kamera. Hari itu, kami hendak memperkuat wawasan murid (dan juga bagi guru sendiri), tentang keterkaitan antara persediaan sumber air bersih alami dengan populasi vegetasi khususnya hutan.

Dan kami menemukannya, setelah ‘sedikit’ bersusah payah, menyusuri bukit menanjak, dan ‘bertarung’ dengan gigitan nyamuk hutan. Udara lembab yang disisakan hujan pada malam sebelumnya, dan belum sempat terhangati sempurna oleh matahari, memang membuat pagi itu menjadi waktu ideal bagi nyamuk dan serangga untuk berburu mangsa. Mata air itu, berada tepat dibawah kaki patahan lereng bukit Sigar Bencah yang curam.

Boleh di kata , mata air yang kami temukan adalah mata air terakhir di areal itu. Warga Rejosari, beberapa tahun yang lampau pernah bergotong royong mengalirkan air dari mata air itu dengan memasang instalasi gabungan bambu dan pipa paralon sebagai jalan air. Dan hingga kini, pipa-pipa itu masih berfungsi baik, meski tahun demi tahun debit airnya semakin lama semakin kecil, apalagi ketika memasuki musim kemarau. Dulu, bahkan air bisa mengalir hingga ke masjid terbesar di dukuh itu.

Untuk menjaga kesinambungannya, mata air itu kini dipagari bak semen, dan didekatnya dibuatkan sumur resapan. Beberapa tanaman pengikat air seperti nangka (Artocarpus integra) dan pisang (Musa paradisiacal) ditanam warga di sekitarnya.

Indoktrinasi Selamatkan Hutan, Sebuah Keniscayaan

Keterlibatan diri secara utuh, baik akal-pikiran, hati, dan empati, adalah cara terbaik menanamkan kepedulian akan hutan. Pendidikan kehutanan khususnya di usia sekolah, tidak cukup dengan memberi pemahaman saja. Apalagi hanya dengan mendengar penjelasan guru di depan kelas atau membaca buku pelajaran (yang materi kehutanannya tak cukup banyak). Sebab, belajar dengan mendengar atau membaca saja, hanya berefek pada pemahaman kognisi dan tak cukup memberikan spirit untuk ‘bergerak’.

Belajar dengan keterlibatan, seperti berpetualang kedalam hutan, menanami lereng bukit atau sekitar sekolah dengan tanaman keras, adalah sebagian kecil contoh yang bisa dilakukan. Kegiatan fisik itu adalah pintu masuk dari terbukanya diri anak untuk mendapat masukan-masukan (baca: indoktrinasi) tentang penyelamatan hutan.

Dalam konteks Mencari Mata Air Terakhir, kami kemudian melanjutkannya dengan diskusi-sikusi kecil. Dengan keringat yang masih menempel basah di seragam, dan mungkin juga nafas yang masih terengah-engah, guru bisa memaparkan bukti kuat di depan mata fungsi hutan bagi kehidupan dan keseimbangan alam. Brainstorming dilakukan disini, tidak hanya berbagi pengetahuan saintifik soal hutan, tapi juga sampai pada penanaman nilai-nilai moral kehidupan. Bahwa, tidak selamanya ukuran kebahagiaan selalu di ukur dengan uang, namun dari banyaknya tebaran kemanfaatan yang kita lakukan bagi kehidupan.

Bahwa hutan, dengan mata air di dalamnya telah menjadi penyelamat bagi warga dukuh/desa. Jika satu pohon mengikat satu galon air saja, maka berapa banyak galon air yang bisa tersimpan jika ada ribuan pohon, di sepanjang hari sepanjang tahun. Nilai ekonomis-ekologis pohon jauh lebih tinggi ketika ia dibiarkan tegak berdiri ketimbang ia di tebang. Keuntungan instan mungkin diperoleh dari pohon-pohon yang ditebang, tapi kerugian yang ditimbulkan selama waktu menunggu hutan pulih kembali bagaimanapun jauh lebih besar dari keuntungannya. Dan menyelamatkan hutan adalah tak sebatas menyelamatkan pohon, tetapi juga menyelamatkan generasi.

Data ilmiah juga menemukan bahwa satu pohon menguapkan sekurang-kurangnya 88 galon air sehari (Kramer & Koz Lowski, 1970). Itu artinya, selain mengikat air di dalam tanah, pohon juga menebarkan kesejukan ke udara. Ini setara dengan kekuatan 5 unit AC (2500 k cal/jam) (Federer, 1970).

Pertanyaan kritisnya adalah, apakah pendidikan berwawasan lingkungan di bangku sekolah cukup efektif mengatasi persoalan hutan di negeri ini. Faktanya, deforestasi terbesar dilakukan oleh korporasi atau pemain besar.Padahal sanksi hukum justru sulit ditimpakan, kepada mereka ketika abai dalam reforestasi, ketimbang masyarakat yang menebang satu-dua pohon secara ilegal untuk mempertahankan hidup karena terbalut kemiskinan. Ini seperti membendung di hulu tapi justru di hilir yang kebanjiran.

Artinya, betapapun masifnya pendidikan lingkungan (kehutanan), dia ‘cuma’ sebuah investasi jangka panjang. Berharap agar anak didik yang hari ini muda, pada tuanya kelak tak masuk dalam golongan orang-orang yang tak bersahabat dengan hutan dan kehijauan. Atau menjadi pemuda yang bermental kritis terhadap lingkungannya. Sementara, pengrusakan hutan dalam skala besar hanya dan hanya bisa ditangani oleh negara, yang memiliki aparatus dan senjata. Sehingga, ketika aparat negara ‘berselingkuh’ menciderai kepercayaan yang diberikan rakyat, maka tamatlah sudah riwayat hutan kita.

Pemerintah pulalah yang (seharusnya) bisa menekan negara-negara maju untuk mengucurkan dana bantuan perehabilitasian hutan, karena faktanya negara maju itu menjadi salah satu titik dalam lingkaran setan penyebab semakin gundulnya hutan di dunia. Mereka adalah pasar terbesar dari pemanfaatan hasil hutan asal negara-negara berkembang. Mereka juga penyumbang tertertinggi emisi karbon dari kendaraan ber-BBM, yang membuat lubang ozon semakin membesar.

Sebagai guru, kami juga mengkhawatirkan adanya fakta kontraproduktif di tengah-tengah masyarakat, minimal di lingkungan tempat tinggal murid. Saat sekolah mewacanakan memperbanyak ruang terbuka untuk tanah resapan atau menanam pohon penghijauan, lingkungan justru bernafsu untuk menutupi areal pemukimannya dengan aspal, semen, atau paving. Juga dengan fenomena makin banyak saja bukit yang dulunya sebagai deposit alami air tanah, kini dikepras menjadi pemukiman.

Maka, mata telanjang dengan mudah akan menangkap ketidaksinkronan pemerintah soal pelestarian lingkungan dan hutan ini. Di daerah perkotaan, ada sektoral yang gencar menanam dan menyumbang pohon-pohon ke sekolah atau instansi, namun di sisi lain justru ada sektoral yang berniat mengubah ruang publik semacam hutan/taman kota menjadi pusat perbelanjaan, atau mudahnya mengeluarkan izin bagi pengembang termasuk mengubah bukit hutan menjadi beton paving-an.

Godaan untuk menjadi kota modern atau metropolis memang menjadi penyakit kronis kota-kota di negara berkembang macam Indonesia. Padahal kota-kota modern di negara maju, berusaha sekuat mungkin untuk back to nature. Mereka ingin segera terbebas dari persoalan klasik yang muncul saat populasi hutan dan vegetasi berkurang; soal ketersediaan air bersih, polusi, sampah, peningkatan suhu udara (dalam kacamata makro menjadi pemanasan global), banjir, dan penyakit-penyakit psikis khas warga kota. Anehnya, kita malah menyongsongkan diri ke problem-problem itu.

Kertas, Pohon, dan Mata Air

Pertanyaan kritis berikutnya adalah sampai kapan mata air-mata air yang ada mampu bertahan. JIka tak ada perubahan berarti dalam cara kita memperlakukan lingkungan, maka jawabannya tentu saja akan menyedihkan. Lihat saja fakta hasil investigasi yang dilakukan para jurnalis, Kompas (2007) misalnya, mengungkap bahwa di Banyumas mata air yang tersisa tinggal 900 buah, padahal tahun 2001 masih tercatat 3.000 mata air. Bahkan yang terbaru (Oktober 2008), RRI Online menyebutkan bahwa Wonosobo, sebagai daerah dingin dan terkenal dengan Waduk Wadaslintang-nya, kehilangan tidak kurang 100 mata air besar, belum termasuk yang kecil-kecil.

Menyelamatkan hutan berikut vegetasi yang menyertainya adalah keharusan yang tak terhindarkan. Selain terlibat dalam gerakan menanam pohon (plus perawatannya), sebagai elemen bangsa yang berada di komunitas sekolah, kami juga tak bosan-bosannya menyerukan pada warga sekolah untuk bijak dalam menggunakan kertas. Meski terlihat sederhana, namun kami percaya bahwa saat kami tak mudah membuang-buang kertas, menggunakan kembali kertas yang masih kosong di lembar sebaliknya (reduse & reuse), membawa dampak positif bagi kelestarian hutan di masa mendatang. Bayangkan, berapa pohon yang bisa diselamatkan jika semua sekolah (juga rumah tangga dan instansi) yang ada di negeri ini memiliki kehati-hatian yang sama dalam memperlakukan kertas yang digunakan sehari-hari.

Dalam bahasa sederhana, khususnya untuk anak-anak dan remaja, sugesti tadi kira-kira bunyinya menjadi “barang siapa membuang satu lembar kertas secara percuma, berarti telah menebang satu buah pohon secara liar”.

Dari sikap kehati-hatian memperlakukan kertas, imbasnya adalah pohon yang terselamatkan. Menyelamatkan pohon berarti menyelamatkan mata air. Menyelamatkan mata air berarti menyelamatkan kehidupan. Dan kebahagiaan sejati berada dibalik setiap kegiatan penyelamatan kehidupan. Ayo kita raih, tunggu apalagi ?

(First Posting : 30 Oktober 2008)

0 komentar:

Posting Komentar