once upon a time...
pada suatu hari,
sebulir embun pagi berbagi cerita padaku,
melalui sebuah sobekan catatan,
begini catatannya,..
***
I.
...
ia berjalan pelan,
ia tidak ingin semuanya segera usai,
ia ingin menikmatinya berlama-lama selama mungkin yang ia bisa,
sebuah atmosphere yang hanya ada di tanah kelahirannya,
saat itu,
pagi belum lagi sempurna,
kabut tipis masih tersisa di sana-sini
bersamaan dengan matanya yang sebenarnya sudah sejak semalam telah mengabut,
bau tropis khas pagi hari menyergap inderanya,
embun-embun pagi berjatuhan...bercelotehan
membasuh rumput dan ujung-ujung daun yang kemarin sore tertutupi pupuk organik,
kesegarannya kini mulai tampak,
menghijau dan meneduhkan...
perlahan, ia hirup udara bercampur kabut itu dalam-dalam,
bau desanya... bau masa kanak-kanaknya... bau indah remajanya,
tercium begitu pekat,
dan segera ia masukkan kedalam rongga dadanya,
ia penuhi seraya berharap tak ingin ia keluarkan lagi,
agar mengendap menjadi monumen yang tak terlupa sepanjang masa,
tapi toh, akhirnya tak juga ia kuat....
ia hembuskan juga nafasnya,
nafas hangat yang menyapa kabut dingin,
membentuk sebuah kurva-kurva aura tipis di udara,
kini setiap kali ia menghembuskan nafas, setiap kali itu pula
ia menemukan bahwa dirinya telah mencipta kehangatan pada lingkungannya...
lalu...seperti biasanya,
ia menahan agar tidak ada yang tumpah dari matanya...
ia mulai menghibur dirinya sendiri,
'dont show your tears'
jangan jatuhkan air matamu, kecuali kalau engkau yakin air matamu itu akan menjadi tetes embun yang menyejukkan...
maka, ia menggegas langkahnya,
ia rasa cukup untuk pagi ini,
ia tinggalkan bayangan gunung menjulang tinggi di belakangnya,
ia tak hiraukan hamparan sawah dan ladang jagung di kiri kanannya,
ia tak pedulikan kicauan burung menyambut pagi,
ia abaikan hangat sinar mentari jingga yang mulai menyeruak di sela pepohonan...
ia abaikan semuanya,
II.
ia kini sudah siap dengan tas punggungnya,
sebuah perjalanan akan ia mulai,
perjalanan besar yang ujungnya ia sendiri tak ketahui
sebuah perjalanan yang membuatnya mungkin harus berpisah dengan segenap cinta dan kehangatan atmosphere indah yang hanya ada di tanah kelahirannya...
sebuah perjalanan yang lebih tepat disebut sebagai pencarian,
pencarian jawaban atas banyak pertanyaan hakikat kehidupan...
ia pada akhirnya memilih keputusan untuk menetas dari telurnya,
ia kekeuh pada keputusannya menggali terowongan keluar dari tempurungnya,
dengan tangannya sendiri,
dengan segenap kesadaran diri...
III.
ia,
kini sedang belajar untuk tidak peduli pada apapun,
selain pada ilmu dan tumpukan buku-buku...
selembar kain yang menutupi kepalanya
membuatnya selalu terjaga dan fokus pada cita-cita,
selembar kain yang sama yang dulu pernah lembab tersapa oleh kabut dingin pagi hari desanya,
selembar kain yang telah mengingatkannya pada suatu masa,
masa silam yang menghantarkannya pada kekinian...
sejenak, ia tercenung pada kalimat pendek yang ia tulis di bindernya,
"aku hanya mau hidup di masa kini dan di masa depan..."
sebuah ejawantah dari -Aku mau hidup seribu tahun lagi- Chairil Anwar.
***
sang embun pagi menutup ceritanya dengan sebuah resume,
"ia kini hanya ingin berteman pada optimisme, ... pada kecerahan,
maka, doakanlah ia agar terjauh dari segala kegelapan...
anak muda ini kelak menjadi tetua pada zamannya,
dan pada saat itu terjadi,
berbesar hatilah jika ia menjadi tetua yang arif dan bijaksana,
terutama jika kau merasa ada sepatah dua kata petuahmu yang kau berikan padanya,
tiada hal lain yang menggembirakan buat kita
selain melihat anak-anak muda kita kelak hidup dengan rahang yang kuat dan bahu yang teguh,
tidak cengeng menghadapi kesulitan, tidak mudah putus asa pada setiap kesempitan,
tak sama sebagaimana kita yang saat ini hanya bisa takluk pada keadaan,
mengibarkan bendera putih tanda kelelahan...
aku -- embun pagi--, dengan anugerah cahaya dan spirit yang ada padaku,
akan senantiasa mengawalnya,
bagaimana denganmu, tuan?"
(First Posting : 6 Januari 2010)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar