Selasa, 02 Agustus 2011

Guru dan Perbankan Syariah

PERNAH mendengar guru mengajukan kredit atau pembiayaan atas usaha, rumah, atau kendaraan bermotor ? Atau katakanlah sekadar menyimpan uang di bank ? Jika iya, maka judul di atas berarti tidak cuma buat guru mapel Ekonomi atau PAI. Dunia perbankan adalah dunia yang sebaiknya diketahui setiap orang, termasuk guru. Ia adalah bagian dari gaya hidup modern. Menabung di celengan bambu sudah bukan lagi cara menyimpan uang yang disarankan, kecuali untuk anak-anak sebagai pembelajaran.


Tapi tunggu dulu, masalahnya di bank seperti apa uang itu disimpan ? Kredit seperti apa yang diambil oleh seorang guru ? Apa hubungannya uang yang disimpan atau kredit kita dengan krisis ekonomi global ? Ada apa dengan sistem ekonomi berbasis bunga (riba) yang selama ini diandalkan ?

Jawaban bagus diberikan oleh salah satu staf Deputi Bank Indonesia saat menggelar pelatihan Perbankan Syariah beberapa waktu lalu di Semarang. Ia me-ngatakan bahwa  sebab utama terjadinya krisis ekonomi terutama di AS dan melebar menjadi krisis global seperti sekarang ini, karena adanya ketamakan atau kerakusan dalam mengambil keuntungan. Walau ada sebagian pihak yang mengatakan, rakus (greedy) dalam kacamata ekonomi diperlukan untuk pengembangan bisnis. Namun bagaimanapun, too much greedy akan membawa kesengsaraan. Dan prinsip ekonomi syariah, jauh dari sifat greedy itu. Ia juga anti sistem spekulasi, yang menjadi andalan dari ekonomi konvensional, yang berujung pada krisis seperti saat ini.

Doktrin prinsip ekonomi konvensional yang digagas Adam Smith (1723-1790) perlu dikritisi dan bila perlu dilupakan. Sebab semangat meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dari modal atau usaha yang sekecil-kecilnya, cenderung membawa ketidakadilan. Dan pada waktunya nanti (seperti saat ini di AS) menciptakan kehancuran.

Namun, sayangnya, di negeri kita, pertumbuhan aset perbankan syariah meski pesat namun baru 2,2 persen dari aset perbankan nasional. Khusus Jateng, aset bank syariah baru 2,06 persen. Dari segi kuantitas, dari 200 jiwa penduduk Indonesia, baru 1,81 juta jiwa yang menggunakan bank syariah, atau baru 1,4 persen yang memiliki account di bank syariah.

Kehandalan sistem syariah ini, malah disambut baik di beberapa negara yang penduduk muslimnya minor. Seperti Singapura, yang bervisi untuk menjadi pusat perbankan syariah di Asia. Sehingga seperti halnya potensi zakat yang masih seperti giant on sleepin’, potensi perbankan syariah mesti dibangunkan. Sebab, ia bisa menjadi penyelamat atas ketakstabilan ekonomi Indonesia. Pendeknya, selama masih menggunakan sistem bunga (baca : riba), selama itu pula perekonomian Indonesia berada dalam ketidakpastian. Krisis moneter 1998 membuktikan, satu-satunya bank yang tetap eksis hanyalah Bank Muamalat yang menggunakan prinsip syariah.
 
Menurut Slamet Sulistiono, dari Tim Monitoring Pengawasan Perbankan BI, Indonesia saat ini menggunakan sistem Dual Banking System. Berbeda dengan Malaysia yang mene-rapkan Windows System atau jika di Indonesia mirip dengan Unit Usaha Syariah (UUS). Dual Banking System memiliki beberapa kelebihan, di antaranya adalah memungkinkan lahirnya bank syariah yang otonom pengelolaannya.Saat artikel ini ditulis, baru ada 3 bank otonom syariah. (atau jika menggunakan istilah dalam UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah disebut BUS: Bank Umum Syariah). Mereka adalah : Bank Muammalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega. Lainnya, masih berupa UUS seperti : BNI Syariah, Danamon Syariah, HSBC Amanah, atau Bank Jateng Syariah. Proyeksi BI ke depan, pada tahun 2023, atau 15 tahun lagi, seluruh UUS sudah berubah wujud menjadi BUS.

Solusi Bank Syariah
Bank Syariah, secara ideologis, lahir dari perintah Allah, bahwa ”Allah menghalalkan jual-beli, dan mengahamkan riba” (QS 2:275). Meski demikian, bukan berarti konsep ini eksklusif dinikmati umat Islam. Menurut Tutut Handayani --wartawan majalah ekonomi SWA-- dalam sebuah perjumpaan dengan pe-nulis, memaparkan bahwa 70 persen nasabah bank syariah di Singapura bukan Islam. Secara ilmiah, konsep bank syariah nyaris tanpa cela dan bisa dipertanggungjawabkan.

Faktor terpenting lainnya adalah bahwa praktek bank syariah berpegang teguh pada prinsip keadilan. Harta yang terkumpul dari cara yang adil diimani membawa keberkahan akan kehidupan selama didunia maupun di kehidupan setelah hidup alias akhirat.

Inilah faktor yang melahirkan keunikan karakter nasabah bank syariah. Selain rasional, me-reka juga emosional/ideologis, sehingga tak mudah begitu saja memindahkan tabungan meski ditawari dengan iming-iming bunga tinggi.

Dalam paraktek bank konvensional, kreditor tidak pernah mengenal kata rugi. Ia akan selalu mendapatkan untung atas modal yang ditanamnya. Tak pandang si debitor sukses atau rugi dalam menjalankan usaha-nya. Namun, dalam sistem syariah, investor (pemberi modal) juga ikut menanggung kerugian jika si entrepreneur merugi, de-ngan akad yang telah disepakati di awal transaksi. Mengapa ? karena selain rugi secara finansial, si entrepreneur juga telah melakukan banyak pengorbanan : usaha, tenaga, pikiran, tekanan, dan lain-lain. Hal inilah yang tidak pernah diperhitungkan dari sistem konvensional. Jerih payah, kerja keras, pengorbanan tidak diapresiasi dalam sistem ribawi.

Faktor penting yang menjadi pembeda lainnya, adalah adanya Akad. Dalam praktek bank syariah, Akad dibedakan menjadi Akad Tabarru’ (non profit) dan Tijarah (profit). Masuk dalam kategori Tabarru : Qard, Wadiah (titipan), Wakalah, Kafalah (penanggungan), Rahn (Gadai), Hibah, Waqaf. Sementara Tijarah (perdagangan) misalnya : murabahah (jual-beli), salam, isthisna (pemesanan), ijaroh, musyarokah, dan mudharobah (bagi hasil).

Sehingga lingkup usaha bank syariah bersifat universal banking, yaitu sebagai commercial banking dan investment banking. Bank Syariah tidak menempuh cara transaksi pinjam-meminjam dana sebagai kegiatan komersil. Keistimewaan bank syariah berikutnya adalah ia bisa menghimpun dan menyalurkan dana sosial (ZISWAF). Ke depan, bank syariah sebagai kekuatan baru, masih akan menghadapi tantangan. Semisal di antaranya : jaringan kantor layanan perbankan yang masih terbatas, SDM berkompeten dan profesional yang belum banyak, pemahaman masyarakat yang kurang, kebijakan pemerintah yang tak sinkron (misalnya soal pajak), skim pembiayaan masih bertumpu pada murabahah (jual-beli) dibanding asas bagi hasil (mudharabah), customer yang berubah dari emosional ke rasional, sehingga menghasilkan produk cenderung deposito dan jangka pendek.

Namun peluangnya untuk menjadi bank kepercayaan masyarakat di masa depan, sebagai sistem ekonomi anti krisis sangatlah besar. Terlebih animo masyarakat saat ini untuk melakukan aktivitas ekonomi berbasis syariah makin menguat. Perlindungan legal formal berupa perangkat UU pun telah ada, yaitu UU 21/2008. (UU ini disahkan Juli 2008 dengan voting 1 fraksi menolak yaitu PDS). Juga potensi investasi dari Timur Tengah, dan kecenderu-ngan positif lainnya dari lembaga nonkeuangan, seperti sekolah, pendidikan, hukum, dll.
Komunitas sekolah bisa ambil bagian untuk penguatan perbankan syariah. Baik melalui diskusi-diskusi ekonomi syariah di kelas maupun aksi yang lebih nyata seperti guru-guru membuat account dan sistem gaji auto debet di bank syariah. Bahkan bila perlu, sekolah mengundang staf customer service bank syariah untuk jemput bola, presentasi di depan orang tua dan membuka layanan kas di sekolah secara periodik.

Soal gaji auto debet ini, mungkin awalnya terasa berat. Guru-guru, yang gajinya tak seberapa, harus bersusah payah mengambil uang di ATM (bertambah bea transportasi). Padahal sebelumnya biasa gajian cash on the hand. Tapi, justru pengorbanan itulah yang menjadi ciri khas indahnya ekonomi Islam. Rela berkorban untuk kemaslahatan bersama, hal yang nyaris tak ada di sistem ekonomi berbasis riba. 
 
(First Posting : 13 November 2008)

1 komentar:

Posting Komentar