Selasa, 02 Agustus 2011

Dialog Imajiner dengan Dr. 'Aidh Al-Qarni : MENGHANCURKAN TEMBOK STAGNASI (MENULIS) - Part 2

Dialogku dengan Kant kemarin, sedikit banyak telah mencairkan pembekuan tinta. Begitu pula dengan testimoni dari para sahabat yang memantau dialog itu. Hari ini, aku bahkan sudah melangkahkan kakiku untuk menatap rak usang dengan barisan buku-buku yang juga usang. Satu langkah besar untuk bisa menulis, sudah hendak kulakukan, yaitu : membaca. Kemarin kehendak ini ikut terkubur, dan sekarang menyeruak ke permukaan.

Di hadapanku sekarang ada Ibnu Qayyim, Ary Ginanjar, lalu Al-Qarni. Aku ingat disebelah Al-Qarni itu ada Rumi, tapi ia sekarang sudah tak ada lagi. Rumi telah pergi ke tempatnya yang baru, beberapa kilometer jauhnya dari sini. Terbersit kemudian keinginan untuk berdialog dengan Rumi, tapi lalu kubatalkan. Mungkin setelah ini.

Jadilah sekarang aku berada didepan sebuah rumah sederhana, putih warnanya. Sayup-sayup aku mendengar suara dari samping rumah, yang kutahu itu disana ada sebuah gazebo kecil. Kesanalah aku melangkah.



Suara itu, laki-laki, agar berat, berkata,
"HUkum kematian manusia masih terus berlaku,
karena dunia juga bukan tempat yang kekal abadi.
Adakalanya seorang manusia menjadi penyampai berita,
dan esok hari tiba-tiba menjai bagian dari berita,
ia dicipta sebagai mahkluk yang senantiasa galau dan gelisah.
sedang kau mengharap selalu damai dan tentram.
Kehidupan adalah tidur panjang, dan kematian adalah kehidupan,
maka manusia berada diantara keduanya;
dalam alam impian dan khayalan.
Maka selesaikanlah tugas dengan segera, niscaya umur-umurmu,
akan terlipat menjadi lembaran-lembaran sejarah yang akan ditanyakan..."

Suara itu berasal dari seorang Al-Qarni. Doktor muda Arab Saudi, Al-Hafidz, dan hafal pula banyak hadist dan syair-syair kuno, juga filsafat-filsafat kekinian. BUkunya "La Tahzan" telah diterjemahkan dalam banyak bahasa, Indonesia salah satunya. Dan demi melihat aku datang, ia segera mengulurkan tangannya. Dan muridnya, yang tadi menyimak ucapannya undur diri sambil mendekapkan sebuah binder didadanya.

Qarni :"Salaam... salaam... ya saudaraku", sambil menyilahkanku duduk.

Doni :"... "La-Tahzan" anda itu... telah membawaku kemari"
Ia tersenyum, lalu berucap "Alhamdulillah... alhamdulillah"

Doni :"Mungkin tanpa ada sadari, melalui "La Tahzan" anda telah menyalakan banyak perapian yang padam. Anda telah menyinari banyak kegelapan, dan membantu menemukan jalan yang hilang dari para perantauan"
Qarni :"begitukah? sebenarnya tidak juga. Mulanya aku menulis untuk diriku sendiri. Aku hendak menghalau kesedihan dan kegundahan atas banyak hal pada diriku. Dan, bilamana ia kemudian berlaku pula pada orang lain, saya hanya bisa mengucap Alhamdulillah... Yang jelas, banyak orang mengatakan tulisan saya berhasil menyentuh hati dan emosi mereka, padahal saya hanya menulis begitu saja, cuma memang saya meletakkan hati dan emosi saya sebagai tinta utamanya. Ada banyak tekstual wahyu di dalamnya, bilamana saya tak melibatkan diri saya, terutama penderitaan saya, tak mungkin ayat-ayat itu lalu bisa 'hidup'.."

Doni :"Darimana anda memulainya lebih dulu? Dari keinginan hendak menulis lalu mencari ide? atau keinginan untuk memulihkan diri dengan cara menuliskannya?
Qarni :"emmm, buat saya itu tak ada bedanya...keduanya sama-sama berproduk tulisan. Intinya, selama ia masih dalam kisaran berproduksi, berkarya, itu sudah sangat baik"

Doni :"Oke, apa yang anda rasakan, setiap kali usai menulis catatan-catan pendek dalam La Tahzan itu?
Qarni : "ketenangan, tentu saja"
Doni :"Apakah kemudian problem-problem hidup anda menjadi usai?
Qarni :"kalaupun usai, pasti akan datang problem baru lagi. Begitulah cara Allah membuat tangguh umatnya... La Tahzan itu fokus pada penguatan diri, pembangkitan diri dari keterpurukan dan kesedihan. BIlamana kau sudah merasa gembira atau paling tidak, tenang... maka kau akan siap untuk bekerja, dan berkarya. Semua problem itu tidak akan usai selama kita tidak mengusaikannya."

Doni :"bagaimana dengan sahabat? apakah anda memiliki teman bicara?
Qarni :"dalam konteks menulis, sebaik-baik teman duduk adalah BUKU. semakin banyak buku kau baca dan hayati, semakin banyak teman bicaramu...Al-JAhiz berkata, buku tidak akan memujimu dengan berlebihan, bukua dalah sahabat yang tidak menipumu, dan teman yang tak membuatmu bosan..dia juga toleran dan tak akan mengusirmu atau mengkhianatimu"

Doni :"kurasa anda benar, baru saja aku berbaikan dengan buku, setelah sekian waktu aku memutuskan diiri secara sepihak untuk memusuhinya, dan nyatanya rasa kehilangannya jauh lebih menusuk dari kepergian sahabat bernama manusia"
Qarni :"mmm, sebetulnya, jika sahabat manusiamu yang pergi itu sempat menuliskan kata-kata, maka kau tidak akan benar-benar meninggalkannya. Melalui kata-katanya itu kau masih bisa bersahabat dengannya. Bahkan bilamana ia berkalangtanah pun, kau masih bisa bersahabat dengannya...kata, tulisan, buku, adalah manifestasi sahabat, tak lekang dimakan waktu.."

Mata Doni berbinar-binar demi mendengar kalimat itu. Seingatnya, ia telah menyimpan banyak kalimat-kalimat dari orang-orang yang ia kagumi dan yang ia jalin persahabatannya sepanjang waktu. Dokumen-dokumen itu akan menjadi teman duduk yang baik.

Qarni :"HAl yang penting pula adalah, hiduplah di hari ini... itu karena yang kemarin kan sudah berlalu, dan yang esok belum tentu lagi datang. Isilah hari ini, dengan yang terbaik yang kau punya, seolah ini menjadi hari terakhr bagimu.!"
Doni :""kadang aku tidak begitu memikirkan hari ini, ...aku malah memikirkan hari akhir... Lalu, bagaimana dengan hari akhir?"
Qarni :"Apanya yang bagaimana? Apakah hari akhir itu ada maksudmu? HAha, kau dan taraf keimananmu di hari ini, tentu saja tak menyangsikan hari akhir kan? Ya, hari akhir, hari pembalasan, adalah salah satu motivasi terkuat buat orang-orang beriman untuk berkarya. Ada korelasi yang sangat kuat antara 'hari ini' dengan 'hari akhir'. Yaitu, apa yang kau buat di 'hari ini' adalah yang kau tanam 'di hari akhir'

Doni :"Bagaimana dengan orang-orang tak beriman? bukankah mereka juga berkarya?" JIka tak percaya hari akhir, apa kira-kira motivasi mereka berkarya?"
Qarni :"hemmm...bukankah kemarin kau bertemu Kant? Kenapa tidak kau tanyakan saja pada Kant soal itu? Atau bagaimana jika kau hubungi via ponsel saja Kant?

Doni lalu memencet beberapa nomor di ponselnya, ia menghubungi Immanuel kant,dan menanyakan soal 'hari akhir' itu padanya. Di ujung jauh, Kant segera punya jawaban.

KAnt :"Sesungguhnya, panggung kehidupan dunia ini belum lagi sempurna, pasti ada sebuah panggung kedua. Sebab kita semua melihat di sini, orang yang zalim dan dizhalimi, namun kita tidak mendapatkan keadilan. Orang yang menang dan yang kalah, namun kami tidak mendapatkan balasan yang pasti. Maka, pasti ada alam lain yang akan menyempurnakan keadilan"

tut...tut...tut... (telephon terputus)

Qarni :"Nah, kurasa, itu sudah cukup membuatmu paham. KAnt saja berkeyakinan, akan ada hari pembalasan itu"

Doni :"Ya, tapi kadang, kesulitan yang aku dapati di hari ini itu demikian dahsyatnya, mampu meluruhkan semangat dan tulang-tulangku."
Qarni :"Ingat saja kata Plato : 'Kesulitan itu akan memperbaiki jiwa sebesar kehidupan yang dirusaknya. Sedangkan kesenangan akan merusak jiwa sebesar kehidupan yang diperbaikinya'..."

Doni :"maksudmu, dengan bertemu kesulitan, itu lebih baik dari kesenangan?"
Qarni :"dalam beberapa konteks, ya...lebih baik begitu. Karena senang, akan membuatmu lebih lalai. Kesulitan, ketersisihan, kepahitan, membuat tulisanmu akan lebih berasa, lebih menggerakkan. Tulisan yang dibuat dalam kesenangan dan kemudahan umumnya berasa lebih hambar, hatta itu berupa nasihat."
Qarni :"KAu juga bisa memanfaatkan kemaksiatan. Ibnu Taimiyah menyebut, dalam beberapa hal kemaksiatan itu baik untuk manusia, dengan catatan : bilamana kita menyesalinya dan mentaubatinya...Itu juga bisa menjadi energi buat kehidupan"

Doni "begitu ya? hemmm, baiklah...terima kasih untuk semuanya. Senang bisa bertemu anda. PAling tidak ramadhan ini saya telah bisa menghisab diri saya sendiri, dengan cara yang sungguh berbeda dibanding ramadhan kemarin... segalanya terasa terang benderang kini."

Maka, saat aku melangkahkan kakiku pulang, Al Qarni mengantarnya dengan sebuah syair :
"Berapa banyak kita memohon kepada Allah saat bahaya menimpa,
namun tatkala bencana itu hilang, kita melupakan-Nya,
Di lautan kita berdoa kepada-Nya agar kapal kita selamat,
namun ketika sudah kembali ke darat, kita lalu durhaka kepada-Nya".

(First Posting : 2 September 2009)

0 komentar:

Posting Komentar