Selasa, 02 Agustus 2011

Bila Kepercayaan Itu Hilang : Wajah Birokrasi Pendidikan Negeri Kita

"Aduh, jangan masuk sini...", seorang ibu paruh baya terlihat gusar ketika guru-guru bergerombol masuk ke ruangan yang bertuliskan "BIDANG PTK". Raut wajahnya menampakkan ia tidak rela, ketika guru-guru yang telah menunggu sejak pagi tadi berhamburan masuk 'mengacaukan' kenyamanan ruang kerjanya yang ber-AC itu. Beuh, padahal beberapa saat lalu, justru mereka sendiri yang memilih ruangan itu, karena sudah tidak ada lagi tempat buat mengantri. Lapangan depan halaman kantor Diknas Kota Semarang itu sudah penuh dengan guru yang mengantri. Thus, dinginnya ruangan di lingkungan kantor Diknas ini, sangat paradoksal dengan kondisi ruang-ruang kelas banyak sekolahan yang 'sumuk' dan bahkan nyaris ambruk.

Sebagian guru yang lain tak menghiraukannya. Mereka tetap mengerubuti sebuah meja yang dijaga dua orang ibu yang lain. Mereka bertugas melihat copy KTP dan mencocokkannya dengan nama-nama di sebuah daftar dan kemudian menyerahkan uang yang disebut-sebut sebagai insentif guru nonPNS, bilamana cocok. Ini adalah hari kedua (30/5) dimana tiba giliran guru setingkat SMP dan SMA. Kemarinnya, malah lebih padat, sebab lebih dari 1000 guru jenjang SD se-kota Semarang menyerbu kantor ini.

Dua orang bapak guru, berusia sepuh, mungkin diatas 50-an tahun, terlihat masygul. Namun, mungkin karena sudah kenyang dengan asin garam kehidupan, beliau berdua tetap mencoba tersenyum. "Kembali ke zaman gerilya, ya..." katanya. Kami bertiga tertawa. Entah apa rasa tawa itu, campuran antara lucu, getir dan tak percaya. Dalam kemasygulan itu juga kami, dan juga ratusan guru yang lain, sabar menunggu giliran dalam barisan.

Kami juga tahu, antrian ini mirip dengan cerita-cerita yang pernah kami sampaikan ke murid, bahwa dulu ketika negeri dalam keadaan 'darurat', rakyat berbaris dalam antrean panjang untuk mendapatkan beras, air bersih dan minyak tanah. Juga jauh setelah negeri ini berteriak merdeka, rakyat masih tetap juga akrab dalam antrean, untuk materi yang sama pula. Sekarang, malah ditambah dengan antrian baru : BLT. Kami juga tahu, sedikit saja terlihat 'ngoyo', maka akan nyaris tiada bedanya antara antrian guru ini dengan antrian rakyat miskin berebut BLT. Kecuali kalo memang sengaja didesain, guru-guru ini dianggap masuk kategori rakyat miskin, dimana antri telah menjadi bagian hidupnya hatta untuk mendapatkan sesuatu yang telah menjadi haknya.

Perasaan guru makin tercabik, ketika hadir aparat keamanan berseragam, dengan senjata laras panjang. Entah dimana logika perwira mereka, sehingga memerintahkan yang dijaga bukannya gerbang masuk atau keluar, malah berada ditengah-tengah guru. Seakan-akan kondisi 'chaos' akan terjadi jika tidak ada kehadiran mereka dan senjata laras panjang itu. Ahhh, namun kesabaran guru mengalahkan segala ego. Guru-guru berusaha menyapa, mengajak bicara mereka, hingga cair suasana. Para guru melupakan perasaan terlecehkan atas strategi pengamanan yang lebay, layaknya berhadapan dengan teroris atau kriminal berbahaya. Bersamaan dengan itu, terlintas sebuah berita dalam benakku, polisi belum berhasil melacak pelaku perampokan ATM dan BMT yang terjadi dua hari berturut-turut di semarang ini. Mungkin mereka berpikir, salah satu guru-guru ini berpotensi menjadi perampok berikutnya pula. Sungguh, sebuah kegagalan logika berpikir yang sangat fundamental.

Di Indonesia ini, di Semarang ini, beginilah cara mereka memperlakukan guru, terutama guru-guru swasta.

Siapa Percaya Siapa?
Disela-sela antrian, seorang guru yang sudah cukup berumur berkata,"Ini yang namanya rejeki tiban". "Sepertinya bukan pak. Ini adalah amanah UU. Ini adalah salah satu hasil perjuangan wakil rakyat kita, juga demo-demo guru swasta itu" kataku memberanikan diri berbeda pendapat soal 'tiban' itu. Soal in iadalah rezeki itu pasti, tapi tiban,,,mmmm,, ini adalah hasil kerja keras banyak orang. Sang bapak kemudian mengangguk tanda setuju.

Negara telah berusaha mengapresiasi guru. itu patut diapresiasi balik. Tapi, ah..tunggu dulu, 'kekeliruannya' adalah melibatkan Diknas sebagai penyalur hak kesejahteraan guru itu. Berdasar pengalaman empirik hari ini, Diknas seolah tidak lagi mempercayai sekolah (swasta) sebagai pranata pendidikan yang menjunjung tinggi asas kejujuran. Dialihkannya cara penyaluran insentif dari kolektif melalui sekolah atau transfer melalui rekening menuju antrian gaya jadul 'man to man' sama saja hendak mengatakan selama ini ada yang tidak jujur didalam proses pencairan tunjangan. Diknas 'menuding sekolah (Swasta) sebagai sumber kefiktifan, maka dengan sendirinya sekolah (swasta) akan balik menanyakan 'integritas' para birokrat itu. Sebab selama ini tidak ada kabarnya sekolah (swasta) yang berlaku curang.

Belum lagi jika dihitung ribuan murid yang ditinggal 'mbolos' gurunya gara-garanya guru harus mengambil insentif. Sebuah cara yang benar-benar jauh dari ukuran efektif dan efisien dan tak mendukung kinerja positif.

Para guru juga tahu, belum lama ini, Diknas Kota Semarang disanggongi KPK seharian penuh. Ada apa gerangan? Dibanding dengan sekolah (swasta) yang memiliki banyak 'watch dog' macam komite sekolah atau orang tua murid, justru di lingkungan birokrasi itu yang minim pengawasan. Sehingga jikalau terjadi ketidakjujuran, justru disitu muaranya. Berita kecurangan di surat kabar bahkan didominasi oleh sekolah negeri, terutama dalam pungutan-pungutan gelap nan liar di seputar PPD atau penerimaan siswa baru.

Dalam kacamata guru, karena ada satu-dua oknum birokrasi yang diragukan kejujurannya, maka selalu dan selalu, sekolah (swasta) menjadi korbannya. Itu seanalog dengan membakar lumbung padi karena curiga ada satu-dua tikus di dalamnya. Mengorbankan banyak orang hanya karena ulah satu dua orang pengecut yang berlindung di balik kata 'kesejahteraan' guru.

Maka, Mari kita lihat kedepan, adakah LSM, Dewan Pendidikan Kota, atau anggota Dewan yang mengkritisi kebijakan tak manusiawi ini? ataukah justru para guru ini yang malah dibilang : "Ah..gitu ajah mengeluh". Gubrak!

*tulisan serupa ditulis juga oleh rekan guru yang lain. Kunjungi blognya untuk membaca. Klik saja di sini.

(First Posting : 31 Mei 2009)

0 komentar:

Posting Komentar